[STORY] | AFTER SCHOOL | CHAPTER 02




CHAPTER.02.
“THE KEY OF THE PAST”




Hari ini aku bangun lebih awal dan pergi ke kuil terdekat untuk berdoa. “semoga hari ini menjadi hari yang tenang dan buatlah semua ini cepat berakhir”, itu lah yang aku inginkan. Kemudian aku berjalan ke sekolah dengan prasaan sedikit ceria. Tapi wajah ceriaku langsung berubah seketika menjadi suram ketika mendengar suara yang memanggilku dari belakang.

“Yuu-kun!”

Suara itu tak salah lagi, Ai. dia berlari ke arahku dan berhenti di hadapanku sambil sedikit memiringkan badannya.

“Ohayo, Yuu-kun! Tumben berangkat pagi sekali. ada apa?”

“Ohayo, Ai! ya… itu.. tadi aku pergi ke kuil dulu”.

Aku menjawab dengan senyum kecut yang tergambar di wajahku tapi sepertinya dia tidak menyadari hal itu dan tersenyum dengan lebar.

“Ooh begitu. Lalu kau berdo’a apa?”

“Eerr… itu…aku menginginkan hari yang tenang”.

“Pfft… apa itu… kau seperti orang tua saja ..hahaha…”

“Memangnya tidak boleh!?”

“Bukan seperti itu, hanya saja itu tidak biasa bagi seorang remaja”

“Memangnya salah jika tidak biasa?”

“Tidak, bukan seperti itu... Apa kau marah?”

“Tidak. Aku tidak marah”.

“Jangan bohong. Kau pasti marah kan?”

Dia mencolek-colek pipiku dan sedikit menggoda ku. Aku merasakan aliran darah ku sudah sampai di kepala dan membuat urat ku sedikit menonjol. Aku menoleh kearahnya dengan tatapan tajam dan sedikit menahan emosi.

“Kalau ku bilang ‘iya’ bagaimana!?”

Aku mengatakannya dengan nada mengancam.

“Hiii! Maafkan aku!”

Dia langsung merinding dan meminta maaf dan berhenti mengoceh. Suasana menjadi hening dan canggung. Aku menghela napas dan mulai membuka pembicaraan.

“Ano.. apa aku boleh bertanya?”

“Hm? Boleh, tanyakan saja”.

“Kenapa kau tiba-tiba memintaku menjadi pacarmu?”

“Ah! I-itu…rahasia”.

Saat aku bertanya seperti itu, dia terkejut dan langsung memalingkan wajahnya. Matanya melihat ke segala arah dengan sangat cepat. Aku bertanya lagi.

“Bukankah aneh jika seseorang yang baru saja bertemu langsung jatuh cinta dan mengungkapkan persaannya?”

“Y-ya itu benar.. mungkin..”

Dia terlihat semakin panik. Keringat dingin mulai mengalir dari dahinya. Aku terus memojokkannya.

“Aku sudah menduga ada yang aneh dengan semua ini. Apa kau benar-benar menyukaiku?”

Rasa paniknya semakin memuncak, kini wajahnya memerah. Dia seperti akan segera mengeluarkan sesuatu dari kepalanya.

“M-..”

“M?”

“MANA MUNGKIN AKU MENGATAKAN HAL SEPERTI ITU! DASAR BODOH!”

“Eeeeh!?”

Seperti dugaanku, dia meluapkan rasa paniknya dengan berteriak mengumpatku. Hal ini biasa terjadi di anime dan manga yang pernah ku baca.

Kemudian dia berlari sambil terus mengumpatku dengan kata ‘bodoh’. Setelah beberapa langkah dariku dia berhenti dan berbalik kearahku. Dia menarik kelopak mata bawahnya dan menjulurkan lidahnya, kemudian berkata.

“Weeeeee… dasar bodoh!”

Itu membuatku kesal dan membuat urat di kepala ku menonjol. Dia berlari lagi kearah sekolah. Aku menahan emosiku dan menghela napas untuk menenangkan diri. Hanya satu kata yang bisa kuucapkan untuk mendeskripsikan dirinya.

“Mencurigakan”.

֎֎֎




Pelajaran sudah dimulai. Jam pertama adalah matematika. Padahal ini adalah mata pelajaran yang kusuka tapi entah kenapa aku merasa bosan dan mengantuk. Semakin mendengarkan guru berbicara mataku semakin berat.

“Hajiki-san? Hajiki-san, apa kau mendengarku? Tolong perhatikan gurumu ketika pelajaran berlangsung”.

 Aku tak menghiraukan teguran guru yang sedang mengajar. Pandanganku mulai kabur dan seperti berputar-putar. Dalam beberapa detik aku sadar kalau ini bukanlah rasa kantuk melainkan rasa pusing yang teramat sangat. Kemudian tubuhku hilang keseimbangan dan terjatuh dari kursi.

“Hajiki-san! Siapapun cepat tolong bawa dia ke UKS!”

Sesaat aku masih bisa mendengar suara guru dan teman-temanku yang panik dan setelah itu aku benar-benar tak sadarkan diri.



Aku berada di tempat yang gelap. Sangat gelap. Aku tak bisa melihat apapun. Ada sesuatu yang menetes di ke pipiku. Aku melihat keatas.

“Hanya hujan toh. Huh-?”

Tiba-tiba saja aku berada di sebuah taman. Aku sempat bingung dengan ini semua. Kemudian terdengar suara yg samar-samar dari kejauhan. Seperti suara seseorang.

Aku senang karena ada orang lain disini. Aku mencoba memanggilnya agar dia mengetahui posisiku.

“Ooi!“.

Perlahan suaranya makin mendekat dan  mulai terdengar jelas. Seketika aku merinding karena yang dia panggil adalah namaku dengan suara yang serak.

Sosoknya mulai sedikit terlihat aku bisa melihat rambutnya yang panjang menutupi wajahnya. Kaki ku mulai gemetar, kejadian ini persis seperti adegan di film horror. Perlahan tubuhnya yang kecil mulai terlihat kisaran anak usia 11 tahun yang mengenakan one piece putih yang sedikit kotor karena lumpur. Tapi tak hanya itu, perlahan mulai terlihat warna lain dibajunya.  Seluruh tubuhku tak bisa di gerakkan, bahkan sepetah kata pun tak bisa kuucapkan. Warna pada bajunya itu adalah darah, dan tak hanya pada bajunya saja tapi seluruh tubuhnya juga.

Tubuhku roboh ke belakang dan terduduk. Mulutku terbuka dan tak bisa bersuara. Mataku terbelalak ketika sosok itu mendekat. Tubuhnya mengambang dan darah segar menetes dari kakinya meninggalkan jejak darah di tanah. Kemudian dengan cepat sosok itu berada di hadapanku. Kilatan cahaya dari petir yang menyambar membuat wajah mengerikan sosok itu terlihat jelas.

“Aku menemukanmu, YUUTO-KUN!”

“UWAAAA!!..Akh-“.

…Bruk!...

Aku terjatuh dari ranjang UKS di sekolah. Aku masih terkejut dengan kejadian yang ternyata hanya mimpi tadi.

“Akh… ternyata hanya mimpi…”

Aku berdiri dan duduk diranjang. Aku mencoba mengatur napas. Jantung ku berdetak cepat karena mimpi tadi. Itu benar-benar seperti kenyataan.

“Tapi mimpi itu… kenapa sekarang?”

Aku mencoba memikirkan tentang mimpi itu. Dulu aku memang sering memimpikannya, tapi tiga tahun terakhir aku sudah tidak memimpikannya lagi dan sekarang kenapa mimpi itu muncul lagi.

Drap! Drap! Drap!

Suara langkah kaki memecah keheningan seketika.

…Sreeet- Duak!...

Pintu geser UKS terbuka dengan keras.

“OOI! YUUTO! APA KAU BAIK-BAIK SAJA?”

“Waaa! Mengagetkan saja.”

Suara itu adalah Nokuma dengan napas yang tersengal-sengal menanyakan keadaanku. Sepertinya dia khawatir setelah mendengar teriakan ku tadi.

“Ya. aku baik-baik saja. Tadi itu aku hanya bermimpi buruk.”

“Begitu ya. Syukurlah. Aku khawatir sekali.”

“Terima kasih atas kepedulianmu.”

…~guuuuu~…

Suara perutku yang keroncongan terdengar keras sekali.

“Ah. Aku lapar.”

“Kalau begitu kau tunggu di sini, aku akan membelikanmu makanan.”

“Tunggu! Aku ikut denganmu. Aku merasa tidak enak jika harus merepotkanmu.”

“Tapi badanmu-“

“Tenang saja. Aku sudah tidak apa-apa.”

“Baiklah kalau begitu.”

Kami berdua berjalan menuju kantin. Saat sampai di kantin, tak ada siswa sama sekali di sana. Hanya ada kami berdua.

“Kenapa sepi sekali?”

“Tentu saja. Ini kan masih jam pelajaran.”

“Apa? Lalu kau? Bagaimana?”

“Tenang. Aku sudah izin untuk menjaga mu.”

“Eh!? Jangan-jangan kau yang membawaku ke UKS?”

“Ya. Ada apa?”

Kalu dipikir-pikir memang murid yang badannya besar di kelas hanya dia seorang.

“Maaf merepotkanmu.”

Dia mengibas-ngibaskan tangannya dan menggelengkan kepala.

“Ah tidak tidak tidak. Jangan dipikirkan. Lagian aku melakukannya dengan sukarela.”

“Begitu ya. Terima kasih.”

Dia tersenyum dan membalas ucapanku.

“Sama-sama. Ayo!”

“Um.”

Kami membeli beberapa roti dan memakannya sambil mengobrol.

“Oiya Nokuma-kun, apa aku boleh bertanya sesuatu?”

“Mm? Ya, apa itu?”

“Kenapa kau sangat baik padaku?”

“Oh itu karena aku mengagumimu.”

“Eh? mengagumiku?”

“Ya, mengagumi mu. Sejak kejadian pada saat hari pertama masuk sekolah. Saat itu aku melihatmu berlari tanpa takut kearah gadis itu. Menurutku itu hal yang luar biasa. Tapi sebaliknya, aku malah hanya berdiam diri karena takut dan hanya bisa meneriaki saja.”

“Jadi begitu.”

“Sebenarnya aku berasal dari keluarga sederhana yang bisa dibilang kurang mampu. Sejak kecil aku selalu menyusahkan orang tua ku. Pada suatu saat aku berkelahi dengan anak dari keluarga yang kaya seperti bangsawan. Dan saat itu keluarga anak itu mendatangi rumahku untuk meminta ganti rugi. Saat itu aku tak tahu apa yang dibicarakan ayah dan ibuku dengan bangsawan itu. Tak lama, ayahku mendatangiku dan berkata “ayah percaya kau anak yang baik, maka dari itu jadilah anak baik yang selalu berbuat baik agar kau dihargai orang lain”. Kemudian ayahku pergi bersama para bangsawan itu dan tak pernah pulang kerumah sampai sekarang. Sejak saat itu aku ingin menebus kesalahanku dan menjadi orang baik agar aku dapat dihargai dan tidak membuat ibuku menangis.”

“Saat itu umurmu berapa tahun, Nokuma-kun?”

“Kira-kira sekitar 10 tahun.”

“Oooh hebat ya. menurutku kau orang yang hebat.”

“Lalu kau sendiri bagaimana bisa berpacaran dengan kakak kelas di hari pertama masuk sekolah.”

“Ah soal itu panjang ceritanya.”

“Oooh... baiklah kalau begitu.”

Kami berdua kembali ke kelas dan mengikuti pelajaran karena tidak enak jika harus membolos di saat jam pelajaran yang aku sukai.

Jarak dari kantin menuju kelasku lumayan jauh. Kami harus memutar ke gedung yang berbeda untuk sampai di sana, dan jarak UKS ke kantin sangat dekat hanya berjarak beberapa ruangan saja. Bagi kondisiku saat ini butuh waktu lebih dari 5 menit untuk sampai di kelas. Dan jam pelajaran tersisa 15 menit lagi. Tak mungkin terkejar, kalau kupaksa berlari mungkin sampai di kelas aku akan pingsan lagi dan kembali ke titik ini. Tak apa lah, masih ada hari esok. Lagipula aku bisa meminjam catatan teman di kelas.

Ketika melewati lorong dan akan berbelok, aku melihat Ai berjalan menuju tangga.

“Maaf, Nokuma. Kau ke kelas saja duluan. Aku ada urusan sebentar”.

Nokuma mengetahui maksudku yang sebenarnya.

“Baiklah. Jangan terlalu memaksakan dirimu”.

Tanpa berkomentar dia mengiyakannya. Hatinya terlalu baik untuk tampang seperti itu. Tapi bukankah dia terlalu baik? Jangan-jangan dia meny- Ah tidak tidak tidak. Positive thinking, Yuuto. Pikirkan itu nanti saja. Sekarang yang lebih penting, Ai.

Aku mengikutinya menaiki tangga. Sepertinya dia menuju ke atap. Tapi mau apa dia pergi ke atap? Hmmm mencurigakan. Tatapannya aneh sekali seperti... seperti... hmmm Ah iya...seperti saat di jalan waktu itu.

Dia sudah di atap. Aku mengintip dari jendela pintu yang sedikit buram. Anehnya aku tidak melihat sosok bayangannya. Padahal baru beberapa detik dia melewati pintu ini. Aku membuka pintu dengan perlahan.

“Ai?”

Sesosok wanita tengah berdiri di tepi gedung membelakangiku. Aku terkejut karena sosok itu adalah Ai. Apa dia akan melompat? Apa dia frustasi karena aku jadi pacarnya?

“Ai! Apa yang akan kau lakukan?!”

Sepertinya dia tidak mendengarku. Atau lebih tepatnya mengabaikanku. Aku berlari kearahnya agar bisa segera kutarik menjauh.

“Ah. Yuuto-kun? Akhirnya aku menemukanmu”.

Ai tiba tiba menoleh kearahku dengan wajah menakutkan. Matanya menatap tajam dengan senyum lebar atau biasa disebut menyeringai. Aku menghentikan langkahku tepat satu meter darinya. Tubuhku gemetar, mulutku terbuka, dan mataku terbelalak.

“S-S-Siapa kau? Kau bukan Ai”.

Dia berbalik badan. Tubuh itu tidak salah lagi kalau itu Ai. Tapi di dalamnya bukan, seperti sesuatu yang berbeda.

“Apa kau melupakanku, Yuuto-kun? Jahat sekali. Kau lebih memilih wanita ini. Itu tidak boleh, Yuuto-kun!”

Aku mencoba menenangkan diriku. Walau tubuhku sudah tenang, tapi suaraku masih sedikit bergetar.

“A-Apa yang akan kau lakukan dengan tubuhnya?“

Senyumnya makin melebar. Perasaanku tidak enak.

“Tentu saja.”

Dia menggerakkan satu jarinya di depan lehernya dengan sudut melintang. Dengan bahasa tubuh sesimpel itu aku bisa paham kalau maksudnya adalah dengan menghabisi nyawa dan tubuh Ai.

“Tunggu dulu. Kau tidak harus membunuhnya kan?”

Aku mencoba mengulur waktu sambil mendekatinya perlahan.

“Wanita ini sejak dulu menghalangi aku untuk bersamamu. Ini kesempatanku untuk melenyapkannya”.

“Apa maksudmu sejak dulu? Apa kalian dulu berteman?”

Nada suaranya berubah menjadi sedikit kecewa. Aku bisa merasakan ada sedikit rasa kesedihan dan kesepian.

“Apa kau sungguh tidak mengingatnya?”

“Um. Sepertinya begitu. Kurasa”.

Jarak kami sudah cukup dekat. Tinggal menunggu kesempatan untuk meraihnya. Dia memejamkan mata. Ah dia menangis. Seorang wanita menangis dihadapanku.

Tunggu dulu, ini kesempatanku!

“Kau jaha-“.

Aku menarik tangannya secara tiba tiba dan seketika itulah tubuhnya lemas. Dia kehilangan kesadaran. Kata-katanya terpotong, ya walaupun aku bisa tau kalau dia akan mengatakan aku jahat. Tapi aku benar benar tidak mengingatnya. Apakah yang tadi itu Ai atau orang lain? Tidak adakah satu petunjukpun yang bisa membuatku mengingat masa laluku?

Ketika menarik tubuh Ai, aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Ai tepat berada diatasku. Badanku sakit karena tertimpa tubuhnya, tapi aku senang dia baik-baik saja. Dia masih tak sadarkan diri. Aku tidak mungkin kuat membawanya ke UKS sambil menuruni tangga.

Aku mengangkatnya ke sebelah pintu yang tadi aku masuki. Setidaknya tempat ini sejuk dan tak ada seorangpun yang melihat. Aku membaringkan tubuhnya. Duduk di dekat kepalanya. Posisinya melintang tepat di sebelah kananku sambil menghadap ke atas. Sekarang aku bisa bersandar pada dinding tepat sebelah kanan pintu dan menaruh kepalanya di pahaku. Aku menjadikan pahaku sebagai bantalnya jangan berpikir yang lain. Aku membelai rambutnya perlahan.

“Sekarang kau terlihat seperti anak kecil yang polos. Padahal tadi begitu mengerikan”.

Melihat wajahnya, aku tak bisa menahan senyumku. Wajah ini ingin kulindungi.

Aku teringat dengan kata-kata “Ai lain” tadi.

“Kira-kira apa maksud dari kau menghalanginya? Apa kita saling mengenal sejak dulu?”

Aku bertanya-tanya pada Ai yang sedang tak sadarkan diri. Tentu saja tak ada jawaban. Bodohnya aku.

Kemudian ada pergerakan dari Ai. Matanya perlahan terbuka dan mengedipkannya beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya.

“Selamat pagi. Bagaimana tidurmu? Nyenyak?”

Dia memandangku dan terdiam sejenak. Dari raut wajahnya dia terkejut menyadari dirinya sedang tidur dipangkuanku. Dia langsung mengangkat kepalanya dengan cepat dan duduk membelakangiku. Walau dia menutupi wajahnya aku bisa tau kalau dia merasa malu, wajahnya memerah sampai ke telinga.

Kemudian dia mulai tenang dan melihat sekitar. Sepertinya dia baru sadar dan kebingungan.

“Kenapa aku bisa ada di atap? Dan kenapa aku bersamamu, Yuu-kun? Perasaan aku tadi berada di kelas dan tiba-tiba kesadaranku hilang”.

Dia tidak mengingat apa-apa soal kejadian tadi. Berarti yang tadi itu memang bukan Ai, tapi sesuatu yang lain.

“Yah banyak yang terjadi sih. Aku bisa menjelaskannya padamu. Tapi aku ingin bertanya satu hal padamu. Aku ingin kau jujur”

Terlihat keraguan pada raut wajahnya. Dia sedang berpikir.

“Um. Baiklah”.

Dengan suara kecil itu bisa dipahami kalau dia sedang mengkhawatirkan sesuatu. Ditambah lagi dia tidak memandangku sama sekali. Dia hanya menunduk.

“Apa kita saling mengenal sejak dulu?”

Ekspresi Ai sangat terkejut mendengar pertanyaanku. Aku sudah menduga kalau dia menyembunyikan sesuatu dariku.

“I-Itu... anu”

Dia terlihat sdang memikirkan jawaban lain.

“M-“.

“M?”.

“Maafkan aku, aku tidak bisa mengatakannya padamu sekarang! Permisi!”

Suaranya seperti ledakann yang begitu kuat mengejutkan jantungku. Setelah mengatakan itu dengan cepat dia berdiri dan pergi meninggalkanku. Aku tetap tinggal di atap sambil memandang langit biru seperti tokoh karakter yang keren.

“Tidak bisa mengatakannya padaku sekarang ya? Itu artinya kau akan mengatakannya padaku kan, dasar bodoh”.

Aku tersenyum karena aku telah menemukan kunci dari ingatanku.

Di tempat lain, Ai yang sudah berada di kelasnya sedang membereskan buku pelajaran yang masih ada di mejanya karena dia meninggalkan kelas pada saat jam pelajaran. Saat memeriksa kembali isi tasnya dia terkejut.

“Tidak ada?!!”

Sepertinya dia sedang kehilangan sesuatu.

Komentar

Postingan Populer