[STORY] | REINKARNASI | (ONESHOT)



REINKARNASI


 Di sebuah pedesaan yang jauh dari kota, tinggal lah seorang gadis kecil berusia 5 tahun bernama Elisabeth. Ia tinggal bersama ibunya yang separuh baya. Sejak kecil ia tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Elisabeth sangat mengagumi ibunya karena menurutnya ibunya tahu segalanya.

Ketika Elisabeth baru pertama masuk Taman Kanak-kanak  ia langsung menceritakan pengalamannya dengan riang gembira kepada ibunya. Ibunya mendengarkan dengan antusias sambil emasang senyum lembut di wajahnya.

“Ibu, apa ibu tahu cara menggambar bintang?”

Ibunya mengangguk.

“Kalau begitu, menggambar Bulan? Gunung? Matahari? Awan? Apa ibu tahu caranya?”

Sambil sedikit tertawa ibunya menjawab pertanyaan si kecil Elisabeth yang polos.

“Tentu saja ibu tahu, Elisabeth.”

Mata Elisabeth berbinar-binar mendengar jawaban ibunya.

“Woah! Ibu tahu segalanya ya. Aku ingin belajar dengan ibu saja deh!”

“Kamu yakin? Kalau belajar dengan ibu, kamu tidak akan dapat teman baru lo.”

“Ah! Benar juga ya. Ibu memang hebat. Hehe.”

Sang ibu kemudian memeluk anaknya yang menggemaskan itu.

 30 tahun berlalu, si kecil elisabeth kecil kini telah menjadi seorang ibu rumah tangga dan tinggal di kota. Ia telah memiliki seorang anak yang berusia 5 tahun bernama Alice. Suaminya pekerja kantoran dan sering pergi ke luar kota.

Ibunya kini telah tiada. Saat elisabeth berusia 15 tahun, ibunya menghilang secara tiba tiba tanpa diketahui alasannya. Warga desa sudah membantu mencari ibunya namun tetap tidak dapat ditemukan. Akhirnya ibunya dianggap meninggal oleh warga desa dan dibuatkan makamnya di pemakaman umum. Setiap tahun ia selalu mengunjungi desanya untuk mendoakan ibunya.

Hari ini tepat hari peringatan kematian ibunya. Elisabeth mengunjungi desanya bersama Alice. Suaminya tidak bisa ikut karena sedang bekerja di luar kota. Diperjalanan Alice menanyakan banyak hal padanya seperti dirinya dulu saat pertama masuk Taman Kanak-kanak.

“Ibu, apa ibu tahu cara menggambar bintang?”

“Ya, ibu tahu. Kau bisa menggambar banyak bintang saat kita tiba di sana nanti. Di sana ada banyak barang saat ibu masih kecil dulu. Ibu melarangmu tahun lalu. Tapi sekarang kau boleh memilikinya.”

“Benarkah? Yay! Terima kasih, bu.”

Elisabeth hanya tersenyum menanggapi anaknya yang begitu lucu dan polos.

“Kalau begitu, menggambar Bulan? Gunung? Matahari? Awan? Apa ibu tahu caranya?”

Mendengar pertanyaan itu, Elisabeth sedikit terkejut. Karena itu persis seperti apa yang dia tanyakan dulu. Namun dia menganggapnya seperti ‘Like Mother Like Daughter’ karena mereka memang ibu dan anak.

“Ya, ibu tau. Ibu tahu semuanya.”

Dia sengaja menjawab dengan sedikit menyombongkan diri agar terlihat hebat oleh anaknya.

“Aku juga lebih tahu.”

Tak mau kalah, Alice juga ikut menyombongkan diri sambil memperagakan gaya ibunya.

Keduanya pun saling pandang. Kemudian elisabeth tertawa melihat tingkah lucu anaknya. Alis kemudian tersenyum dan memperlihatkan wajah polosnya. Mereka berdua memanglah seorang ibu dan anak.

Setelah perjalanan yang cukup melelahkan, mereka berdua telah sampai di rumah mendiang ibu Elisabeth. Mereka beristirahat sejenak dan membereskan barang-barang yang mereka bawa.

“Ibu, ayo berkeliling!”

“Kita baru saja sampai, ibu capek.”

“Ayolah, Ibu.”

“Baiklah baiklah, tapi sebentar saja ya?”

“Yay! Sebagai gantinya aku yang akan memandu di depan.”

Dengan percaya diri Alice berjalan di depan sang ibu untuk menuntunnya ke rumah rumah tetangga di sekitar. Elisabeth tersenyum, dalam lubuk hatinya yang paling dalam dia merasa sangat senang saat Alice terlihat sangat akrab dengan warga desa. Padahal baru tahun lalu Alice datang ke desa ini.

Setelah berkeliling ke beberapa rumah, mereka kembali ke rumah dan bersiap untuk pergi ke tempat pemakaman. Tahun lalu Alice tidak ikut ke tempat pemakaman. Ini pertamakalinya dia ke tempat itu, tapi tidak ada rasa takut yang tergambar di wjahnya. Melainkan wajah tersenyum seperti biasanya.

Elisabeth merasa lega karena hal yang dia khawatirkan tak terjadi. Ia pun ikut tersenyum melihat anaknya tidak merasa takut, walaupun mungkin sedikit aneh bagi seorang anak usia 5 tahun yang datang ke tempat pemakaman dengan wajah yang riang gembira.

Setelah sampai di makam ibunya dan akan mulai berdoa, Alice tiba tiba menyeletuk.
“Jadi ibu selalu mendoakan makam kosong ini ya?”

Elisabeth terkejut mendengar ucapan anaknya.

“Alice! Apa yang kau katakan!? Itu tidak sopan!?”

“Bukankah aku benar?”

Dengan wajah polosnya, Alis membalas pertanyaan ibunya dengan sebuah pertanyaan.

“Bagaimana kau tau?”

“Tentu saja aku tau, Ibu”

“Apa penduduk desa yang memberitahu?”

Alice tidak memberi jawaban dan mulai berdoa. Melihat itu, Elisabeth juga mulai berdoa. Dalam benaknya masih bertanya-tanya. Kenapa penduduk desa memberitahu hal seperti itu pada gadis kecil seperti Alice. Dia tau suatu saat Alice pasti akan mengetahuinya, tapi tidak sekarang. Seketika, pikirannya langsung kacau.

Setelah berdoa, Elisabeth masih terbenam dalam pikirannya. Alice yang selalu mengoceh kepadanya pun tak dihiraukan. Sampai di rumah, Elisabeth memarahi Alice karena perkataannya soal makam neneknya sendiri. Alice dihukum agar tetap berada di kamar sampai mereka kembali ke kota besok pagi.

Setelah menyuruh Alice untuk tetap di kamarnya, Elisabeth menelpon suaminya dan melaporkan semua yang terjadi. Suaminya menenangkannya dan menegaskan bahwa Alice masihlah anak-anak. Apapun yang keluar dari mulutnya hanyalah isi pikirannya tanpa makna yang berarti.

Setelah itu elisabeth sedikit merasa tercerahkan oleh perkataan suaminya. Ia menghampiri kamar Alice dan berniat untuk meminta maaf karena sudah memarahinya. Tanpa pikir panjang Elisabeth membuka pintu kamar Alice.

“Alice, Ibu ingin- ... Alice? Alice?”

Alice tidak ada di kamarnya. Hari sudah gelap. Elisabeth sangat panik dan terus memanggilnya sambil mencari ke setiap sudut rumah. Saat melewati dapur, ia melihat Alice dari pintu belakang yang terbuka. Alice berada di belakang rumah. Berdiri diam dan tak melakukan gerakan apapun.

Elisabet mendekati dan memanggilnya.

“Alice? Sedang apa kau di sini?”

“Ibu.”

Kemudian Alice sedikit membalikkan badannya.

“Di sini belum diberi air. ”

Mendengar itu, Elisabeth langsung terkejut setengah mati. Dia langsung terdiam seribu bahasa.

“Dan sepertinya ibu belum mengganti bunganya.”

Tubuh Elisabeth gemetar, keringat dingin mulai bercucuran.

“Kenapa Ibu diam saja? Apa Ibu terkejut?”

“Apa maksudmu?”

“Ibu yang melakukannya kan?”

Tak ada jawaban dari Elisabeth yang terdiam seperti patung. Pikiran dan perasaannya sudah bercampur-aduk.

“Ibu tega memukulnya dan menguburnya hanya karena ibu merasa kesal. Dan ibu merasa kesal hanya karena ibu diberi nasihat. Ibu tega melakukan itu semua kepaada orang yang telah merawat dan membesarkan ibu.”

Air mata Elisabeth mulai mengalir. Namun ia tetap tidak bisa berkata apapun. Ia terjebak dalam flashback dalam ingatannya.

20 tahun lalu saat Elisabeth duduk di bangku SMP. Ia dijauhi oleh teman perempuannya karena dia populer di kalangan murid laki laki di kelasnya. Hampir setiap hari ia di buli dan diancam oleh teman perempuannya. Itu membuatnya minder dan nilai sekolahnya menurun. Tentu saja menambah masalahnya. Akibat stress yang amat sangat, Elisabeth melampiaskan emosinya yang memuncak kepada sang ibu yang mana pada saat itu sedang memberi nasihat padanya. Kejadian itu sangat brutal sampai ibunya meregang nyawa. Setelah sadar akan perbuatannya, elisabeth menguburkan jasad ibunya di belakang rumah dan berpura-pura bahwa ibunya telah hilang. Setelah ibunya dianggap meninggal, ia dibawa oleh bibinya ke kota untuk melanjutkan sekolah. Dengan penyesalan yang amat dalam, Elisabeth hanya bisa menangis dan meminta maaf di makam ibunya yang asli setiap tahunnya. Ia tak pernah lupa menyiram air diatasnya dan mengganti bunga yang sudah layu.

Dan kini cerita panjang dan kelam itu telah diketahui oleh anaknya yang masih berusia 5 tahun.

“20 tahun yang lalu.”

“B-Bagaimana kau tahu?”

“Tentu saja aku tahu, Ibu.”

Bak ditampar oleh kenyataan pahit. Kesadarannya kembali dan kata kata itu mengingatkannya pada seseorang. Dengan sedikit gemetar Elisabeth hanya bisa berkata lirih.

“Jangan-jangan...”
“Hmm... Biar aku rubah sedikit.”

Dengan senyum hangat Alice mengubah sedikit gaya bicaranya.

“Tentu saja aku tahu, E-LI-SA-BETH.”

“I-Ibu...”

[TAMAT]

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer