[STORY] | VATIC WAR |CHAPTER 01




CHAPTER 1
ACTIVATE”


Tercium aroma rumput dan tanah bercampur darah. Ah, itu darahku sendiri.
Aku terbaring di halaman belakang sekolah. Cahaya oranye menyinari pandanganku melalui sela-sela daun di pohon dekat pagar sekolah.
Hari sudah senja, kenapa aku masih di sekolah? Ah, aku ingat! Hari ini pun aku dijahili.
Aku bingung kenapa mereka tidak lelah melakukan ini? Apa mereka tidak punya kegiatan lain? Tapi biarlah, itu urusan mereka. Akupun tidak terlalu mengambil pusing soal ini.
Aku mencoba berdiri dengan tenaga yang masih tersisa. Aku melihat tasku tergeletak di sebelah kananku dan isinya berhamburan keluar. Aku memungut dan merapikan perlahan.
Rasa nyeri di bagian punggung membuatku sulit membungkuk dan berjalan. Tapi, aku sudah biasa merasakan yang seperti ini. Aku biasa dibuli, karena orang lain menganggapku aneh.
Ya aku aneh, aku manusia setengah Elf (Half Elf). Ras ku adalah ras bertelinga panjang, tapi telingaku sedikit pendek dari orang-orang di ras ku, ini karena ayahku seorang elf dan ibuku seorang manusia yang berhasil selamat dari perang nuklir.
Sejak dilahirkan aku tidak pernah bertemu dengan mereka. Nenekku bilang ayah dan ibuku berada di tempat yang sangat jauh. Saat masih kecil aku percaya itu, sampai aku mengetahui bahwa tempat yang jauh itu tidak pernah ada di dunia ini.
Aku tinggal sendirian di rumah peninggalan ayahku. Nenekku masih hidup, ia tinggal di apartemen di kota.
Setelah menempuh jarak yang cukup jauh, akhirnya aku sampai di rumah. Rumahku berada di pinggiran hutan dan menyatu dengan salah satu pohon besar yang ada di sana.
Semua pohon di dunia ini bermutasi menjadi berukuran raksasa. Hampir seluruh bangunan di Negara ini menyatu dengan pohon besar atau lebih tepatnya pohon besar yang kami jadikan bangunan ataupun tempat beraktifitas lainnya. Wajar saja, Negara kami dulunya adalah kawasan Asia yang banyak ditumbuhi pepohonan tanaman tropis bahkan di sebut sebagai “Paru-Paru Dunia”.
Begitu masuk rumah aku langsung berbaring di atas kasur tipis yang biasa aku tiduri.
Jika kalian melihat rumahku dari luar, kalian akan berpikir rumahku sangat besar. Tapi, ketika masuk kedalam kalian akan terkejut karena yang menanti di depan adalah sebuah kasur lantai yang terbentang di sana. Hanya ada sebuah ruangan yang kalian temui. Di ruangan itu aku melakukan semua kegiatan.
Setiap hari aku melakukan pekerjaanku sebagai reparasi android. Berkat adanya pertandingan robot, pekerjaan seperti ini menjadi sangat laris dan banyak dicari. Dari kecil aku sudah berurusan dengan masalah android. Aku mempelajari semua tentang android dengan mencari tahunya sendiri tanpa ada yang mengajari. Aku merasa tertarik untuk mempelajari cara kerjanya dan berharap aku dapat mempunyai android sendiri. Aku ingin memodifikasinya!

Aku berbaring di atap rumahku, ini adalah tempat favoritku untuk menenangkan pikiran. Sambil memandang sunset yang indah aku selalu berkhayal mempunyai android dan memodifikasinya. Matahari yang terlihat lebih besar dari biasanya mulai tenggelam diantara gedung-gedung kota yang menjulang tinggi. Cahaya oranye perlahan mulai memudar dan berganti biru gelap.
“…drrrrt…drrrt…”. Telfonku bergetar dari saku celanaku. Ternyata dari nenekku di kota. Aku langsung menjawabnya.
“Halo, nek. Ada apa?”
“Oh, Jean. Apa kau sudah makan?”
“Aah, Belum hehe.”
“Sudah kuduga. Ayo cepat ke sini, nenek sudah memasak untukmu.”
“Woah! Baik, nek. Aku segera ke sana.”
Aku sampai lupa dengan makan malamku, untung saja nenekku orang yang peka. Nenek, aku mencintaimu!
Aku langsung mengambil skateboard kesayanganku dan melesat menuju rumah nenek di kota sana. Skateboard ini buatanku sendiri, dengan mengandalkan magnet bumi untuk melayang dan tenaga dorong dari mesin yang kubuat sendiri dari bagian-bagian android bekas. Kecepatan maksimalnya bisa sampai seratus kilometer per jam. Tapi semakin tinggi kecepatannya semakin sulit juga mengendalikannya, sepertinya aku harus menyempurnakannya lagi.
Setelah melewati beberapa belokan akhirnya sampai di depan apartemen nenek. Aku langsung menekan bel di ruangan nenek.
“…TEEET!…”. Suranya yang keras membuatku terkejut meskipun ini bukan yang pertama kali aku ke sini.
“Nek, aku sampai.”
“Oh iya, Masuk saja.”
Aku masuk ke dalam lift yang ada di dekat bel tadi. Lift yang ada di kota ini semua berada di luar bersama dengan tempat bel dikarenakan suaranya yang keras akan mengganggu penghuni lain. Aku berpikir kenapa tidak diganti saja.
Pintu lift terbuka dan sekarang aku telah betada di lantai tujuh. Aku keluar dan mencari pintu apartemen nenek.
"...25 ...26 ...27 ... Ah ini dia 28!"
Terdengar suara nenek sedang bersenandung. Sepertinya dia sedang bergembira. Tanpa berlama-lama lagi aku masuk ke dalam.
“Permisi. Aku masuk.”
“Oh, Jean. Ayo kemari. Duduk di sini.”
Ketika aku masuk, di meja makan sudah tersedia banyak makanan seperti di restoran yang tidak mungkin ku dapatkan. Semuanya terlihat enak, air liurku hamper menetes.
“Woah!”
“Ayo silahkan dimakan”
“Terimakasih, nek. Aku mencintaimu!”
Nenek hanya tersenyum dan duduk di kursi di sebelahku. Aku bisa merasakan pandangannya yang melihatku makan. Aku berpura-pura tidak menyadari dan mencicipi satu persatu hidangannya sampai tidak tersisa.
“ Terimakasih atas hidangannya.”
“Apa sudah kenyang?”
“Iya. Terimakasih, nek. Aku sudah lama tidak merasakan makanan buatan nenek. Rasanya enak sekali.”
“Kau bisa ke sini Kapanpun kau mau. Pintu rumah nenek selalu terbuka untukmu.”
“Terimakasih, nek. Tapi sudah menjadi keputusanku untuk tinggal sendiri, jadi aku tidak bisa terus mengandalkan nenek. Aku harus mandiri. Aku ingin seperti ayah.”
Mendengar ucapanku, nenek terdiam sejenak.
“Ada apa, nek? Apa aku mengucapkan sesuatu yang salah?”
Kemudian nenek kembali tersenyum.
“Tidak kok. Jadi kau ingin seperti ayahmu ya. berusahalah.”
“Baik, nek.”
Aku membalas senyumannya dan pamit untuk pulang ke rumahku.
Aku senang memiliki nenek seperti nya. Aku merasa paling beruntung di dunia ini.
Yosh! Mulai besok aku akan berusaha.



Pagi yang cerah dengan suara kebisingan di kota, aku berangkat menuju sekolah. Seperti biasa aku menaiki skateboard kesayanganku. Angin hangat yang terasa di kulit ini membuatku nyaman. Aku memejamkan mata untuk menikmati saat-saat seperti ini.
Asal kalian tahu saja, skateboardku ini sudah dilengkapi GPS dan kendali otomatis. Jadi ketika sesuatu apapun itu ada diatasnya maka, skateboard ini akan aktif dengan sendirinya. Alat yang keren bukan? Ya aku terpikirkan untuk membuatnya ketika membantu nenek berbelanja. Aku merasa kasihan padanya karena harus membawa belanjaan yang berat setiap aku tidak dapat membantunya.
“…TLAK!…BUGH!...” tiba tiba aku terjatuh dari skateboardku.
“Aduh! Ah.”
“AHAHAHAHAHA!”
Suara ini. Aku sangat kenal dengan suara ini. Dialah yang selalu membuliku. Kalt Van Veltrain, dia adalah keturunan konglomerat dari ras Werebeast. Dia datang dari tempat yang dulunya benua eropa dan bersekolah disini.
“Kau lagi. Apa kau tidak tahu yang tadi itu sangat berbahaya.”
“Ha? Lalu kenapa? Kau ingin melawanku? Ayo, coba saja.”
Disaat seperti ini aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tapi, bukankah aku sudah berjanji akan berusaha agar bisa seperti ayah. Kalau seperti ini terus aku akan mati sebelum impianku tercapai.
Aku mencoba berdiri. Tanganku mengepal dengan erat.
“Ayo serang aku!”
Dengan ekspresi menyeringainya ia terus memprovokasiku. Aku yang telah merasa geram langsung berlari ke arahnya untuk mendaratkan pukulan kekesalanku.
“Pfft. Dasar bodoh.”
“???”
“…BUGH!...” entah dari mana datangnya sebuah tendangan tiba-tiba menghujam perutku.
“Ugh! Ohok!”
Aku terpental kebelakang. Sesaat aku merasa sulit bernapas. Perutku terasa panas.
“…Grab…” tubuhku tertahan sesuatu, ah seseorang menangkapku.
“Cukup! Kau sudah keterlaluan, Kalt!”
Hm? Aku mengenal sosok ini. Dia adalah Chi Ying dari ras Dragonia. Dia sama seperti Kalt, dia dari luar negeri. Hanya dia satu-satunya orang yang baik padaku di sekolah ini.
“C-Chi-chan.”
“Apa kau tidak apa-apa, Jean?”
“Ya, sepertinya begitu. Akh!”
Ini ini samasekali tidak baik-baik saja. Perutku sakit sekali dan terasa panas.
“Oh. Di selamatkan seorang wanita, menyedihkan sekali kau ini. HAHAHA!”
Aku mendengar suara Kalt. Dia masih mencoba memprovokasiku.
“Kau tunggu di sini, aku akan menghajarnya.”
Ketika Chi-chan akan berdiri aku menahannya.
“Jangan! I-Ini masalahku. Aku tidak bisa membiarkan orang lain membantuku apalagi seorang wanita.”
Awalnya Chi-chan terkejut dengan kata-kataku. Tapi, kemudian dia tersenyum, sepertinya dia mengerti bagaimana perasaanku. Dia membantuku untuk berdiri.
“Apa sudah tidak apa-apa?”
“Iya.”
Aku meminta Chi-chan untuk melepaskan pegangannya. Aku menahan rasa sakit di perutku ini dan mencoba mengokohkan pijakanku. Aku menghela napas dan memandang ke arah Kalt.
Aku terkejut dengan kehadiran sesosok android yang berdiri di samping kanan Kalt. Aku terdiam. Dengan senyum jahatnya dia bertanya padaku.
“Ada apa? Kemana perginya semangatmu itu? Hooo. Apa kau terkejut melihat Vatic milikku?”
“V-Vatic?”
Aku terkejut android itu ternyata Vatic. Robot tempur yang dirancang untuk menghancurkan lawannya. Kalau aku melawannya aku bisa mati. Bagaimana ini? Apa aku harus berlutut dan minta maaf? Tidak! Aku tidak serendah itu. Mau seberat apapun itu, seberbahaya apapun itu aku harus tetap menghadapinya.
"Iya! Apa kau takut? HAHAHA!"
Dia ingin memprovokasiku, aku tidak boleh termakan omongannya.
"K-Kau pikir aku akan takut hanya dengan rongsokan bodohmu. H-Haha... lucu sekali."
Gawat. Sepertinya aku menekan tombol kematian untuk diriku sendiri.
Raut wajahnya yang semringai kini berubah masam. Sepertinya dia yang telah termakan omonganku. Apa yang harus aku lakukan? Ayah bantu aku!
"Apa kau bilang? Berani-beraninya mengatakan vatic milikku ini rongsokan. Dasar kau half elf miskin! ...East! Hajar dia!"
Vatic miliknya bernama East dengan motif zirah Hornbills yang terlihat mewah dan elegan. Memang sesuai dengan pemiliknya. Tapi sepertinya bagian dalam mesinnya seperti sudah usang. Kurasa Kalt hanya peduli pada tampilan luarnya saja. Ini membuatku merasa kasihan pada vaticnya.
Setelah menerima perintah, East langsung melesat dengan cepat ke arahku dan bersiap mendaratkan pukulan kerasnya padaku. Spontan aku menyilangkan kedua tanganku membuat posisi bertahan dan memejamkan mata bersiap menerima rasa sakit.
"... WOOOOSSSHHH...-DUAAMM!!!... 'Tlang!'..."
Tiba-tiba sesuatu terjatuh dari langit dan menghalang serangan East. Terdengar suara seperti besi yang saling beradu kemudian East mundur dan membuat jarak dari benda itu. Kami semua terkejut dan suasana menjadi hening seketika. Kumpulan debu yang terhambur ke udara masih menyelimuti di sekitar benda itu.
Dari balik debu muncul siluet dua manusia dengan mata berwarna merah menyala setelah beberapa saat berubah menjadi biru. Terlihat seperti sepasang gadis kembar yang cantik, tapi dengan gaya rambut yang berbeda. Perlahan debu mulai menghilang dan menampakkan dua sosokmanusia yang harusnya telah punah 16 tahun yang lalu.
"Apakah itu...manusia?"
Dengan wajah terkejut sama sepertiku Chi-chan bertanya-tanya.
"Itu...tidak mungkin, Chi-chan."
Dua makhluk itu menatap dengan tajam ke arahku seperti sudah mengunci targetnya. Mereka bergerak perlahan menuju diriku. Gerakan mereka kaku seolah mereka adalah robot. Tetapi apa benar ada robot semirip ini dengan manusia. Apa ini android? Tapi gerakannya terlalu kaku untuk android. Dilihat dari cara dia tiba sepertinya memiliki ketahanan yang cukup tinggi seperti vatic.
Kini mereka sudah berada di hadapanku.mereka berbicara bersamaan.
"Jean Bacht, 16 tahun, Ras Elf, golongan darah O."
Mereka mengetahui biodataku. Siapa mereka ini? Aku mulai takut.
"I-Iya?"
"Pukul 21:57 pm telah menekan tombol aktivasi. Selanjutnya apa anda ingin mengaktifkan segel kontrak? Yes or No?"
Aku masih tidak mengerti dengan ini semua. Aku tidak bisa berkata-kata.
"..."
"10 detik sebelum memulai pembatalan kontrak dan pemusnahan otomatis... 9...8...7...6...5...4...3-"
"Aaargh! Baiklah! Baiklah! Yes! Yes!"
"Kontrak dikonfirmasi! Activate Success!"
Kemudian mereka memejamkan mata. Tubuh mereka bercahaya begitupun denganku. Aku seperti melayang. Pandanganku mulai pudar dan berganti dengan suatu pengelihatan, mungkin ini isi ingatan mereka berdua.
Aku melihat seorang profesor elf yang bekerja keras sendirian demi membuat android. Di hadapannya seorang wanita yang terbaring kaku dengan kabel berjenis dan berukuran yang beragam. Perlahan pengelihatan itu meredup. Tak lama kesadaranku kembali. Aku berada di pelukan Chi-chan. Aku melihat 2 makhluk tadi masih berdiri memandangku.
"Siapa kalian?"
Karena penasaran aku frontal bertanya pada mereka berdua.
"Kami adalah pelayan anda, Master."
"Master? Maksudku kalian ini apa?"
Salah satu yang berambut panjang menjawab pertanyaanku.
"Kami adalah vatic yang telah anda aktifkan. Kami diprogram untuk patuh hanya pada orang yang menekan tombol aktivasi."
Kini yang berambut pendek menambahkan.
"Anda telah menekannya bukan, Master?"
"Menekannya? Maksud kalian..."
Sambil merogoh saku celanaku aku mengambil sebuah liontin yang aku temukan di ruang rahasia milik ayah setelah diberitahu nenek.
"... Liontin ini."
"Tepat, Master."
Aku mencoba mengingat kejadian semalam.






Malam itu sebelum pulang dari rumah nenek.
"Sudah pukul 20:03, aku harus pulang, nek. Aku belum membersihkan rumahku. Terima kasih atas makanannya. Masakan nenek memang yang terbaik!"
Aku berjalan menuju pintu keluar dan bersiap memakai sepatu.
"Ah tunggu Jean!"
Nenek bergegas menghentikanku dan memberi sesuatu dari sakunya.
"Ini. Ambilah."
"Apa ini, nek?"
"Itu kunci ruangan milik ayahmu dulu. Kau ingin menjadi seperti ayahmu kan? Terimalah ini. Mungkin ini bisa membantumu."
"Hmm... Baiklah. Sampai jumpa, nek."
Aku bergegas meninggalkan rumah nenek. Aku penasaran dengan ruang rahasia milik ayah yang nenek katakan. Aku sudah berkali kali memeriksa sudut sudut rumahku saat membersihkannya, tetapi aku tidak menemukan tanda tanda pintu masuk sebuah ruangan. Aku yakin sekali. Oleh karena itu aku akan memeriksa nya sekali lagi dengan sangat teliti. Aku memacu skateboardku dengan kecepatan penuh. Cahaya lampu kota seolah sebuah garis yang melewatiku. Cukup sulit bagiku mengendalikan benda ini dengan kecepatan maksimal, tapi untung saja aku sudah handal mengendarainya. Dalam waktu singkat aku sudah bisa melihat rumahku.
Begitu sampai digarasi aku langsung memarkirkan skateboardku dengan cara yang menurutku keren, yaitu dengan memberi beban dibagian belakang yang akan menaikan bagian depan sehingga arahnya keatas dan sedikit putaran di udara lalu mendarat bagaikan seorang profesional. Kemudian aku melompat turun dan bergegas mencari petunjuk ruangan rahasia yang dikatakan nenek.
Seluruh penjuru rumahku sudah kuperiksa, tapi tidak ada tenda-tanda dari pintu masuk menuju ruangan ayah.
“Haaaaahhhhh.... apa ruangan itu benar-benar ada?”
Aku menghela napas panjang. Ini membuatku lelah. Sepertinya harus istirahat dan berpikir sejenak.
“Minum dulu ah.”
Aku duduk di tempat kerjaku dan menuangkan botol minumku ke dalam gelas. Sayangnya baru setengah terisi airnya sudah habis.
“Loh? Habis?”
Aku kembali menghela napas dan menaruh botol minum tadi diatas meja dengan sedikit hentakan dan membuat suara yang sedikit nyaring.
“Uwah, memang benar kosong.”
Aku meminum air yang ada di gelas sedikit demi sedikit. Kemudian terpikirkan lagi soal ruangan itu.
“Ruangan ya... Hmm... Ruangan... Ruang... Kosong... Suara... Nyaring... Ah!”
Kenapa tak terpikirkan sejak tadi. Harusnya aku bisa menemukannya hanya dengan mengetuk setiap bagian ruangan ini. Sepertinya akan melelahkan.
Aku sudah mengetuk di setiap sisi dan setiap sudut, tetapi tetap tidak menemukannya.
“Aarrgh! Aku menyerah! Tidur saja ah.”
Aku mengeluarkan futon dari lemari dan mematikan lampu. Tanpa basa-basi langsung masuk kedalam selimut dan mencoba tidur. Ruangan ayah yang dikatakan nenek masih mengganggu pikiranku. Aku tidak bisa tidur. Aku mengganti posisi tidurku menghadap ke lemari.
“Ah! Masih ada satu tempat yang belum kuperiksa!”
Aku terperanjak dari futon dan menyalakan lampu. Aku memeriksa semua bagian dari lemari dan menemukan bagian yang bersuara sedikit nyaring di bagian sudut belakang bagian bawah lemari, bagian yang sedikit tertutup pintu lemari.
“Binggo!”
Aku mengambil perkakasku dan sedikit menjebol lemariku itu. Tak kusangka lubang kunci terdapat ditempat seperti ini. Memang benar-benar tempat rahasia.
Aku memasukkan kunci dan memutarnya, semuanya terasa dramatis tapi tidak terjadi apa apa. Tidak ada suara gemuruh ataupun benda bergeser.
“Haaaaahhhhh... Tidak terjadi apa-apa.”
Untuk ketiga kalinya aku menghela napas, hatiku kecewa. Aku keluar dari lemariku dan ingin kembali tidur. Saat keluar aku terkejut dan tak bisa berkata apa-apa. Mata dan mulutku terbuka. Ruangan serbagunaku kini menjadi sebuah ruangan kotor penuh debu yang tidak kukenali. Futon yang tadi ku tiduri tidak ada. Bagai dihantam dengan palu 100 ton kesadaranku kembali.
“I-Ini... inikah ruangan ayah?”
Ruangan ini tak jauh berbeda dengan ruanganku yang biasanya, hanya saja kondisinya yang tak terawat. Aku menghampiri meja kerja ayahku. Di sana terdapat sebuah kotak seperti kotak cincin.
“Apa ini milik ayah dan ibu?”
Aku membuka kotak itu dan ternyata isinya bukan seperti yang kubayangkan. Bukan cincin, melainkan sebuah liontin dengan inti yang sedikit menonjol berbentuk diamond dalam kartu thrump dengan sedikit hiasan pada satu sisi di setiap ujungnya. Tetapi kalung dari liontin ini sudah sangat usang, terlihat sangat rapuh.
“Ah bagian ini seperti bisa ditekan.”
Dengan cerobohnya aku menekan inti dari liontin itu dan sesuatu pun terjadi. Aku tidak ingat kelanjutannya. Yang kuingat aku terbangun dari tidurku dipagi hari dalam futonku. Kupikir semuanya hanya mimpi. Tapi tanganku menggenggam liontin yang persis seperti dalam ingatanku dan aku menyadari semuanya benar-benar nyata. Kemudian aku bersiap untuk ke sekolah.





Apa semuanya karena liontin ini? Aku hanya bisa bertanya-tanya dalam benakku.
“Oi Oi! Apa-apaan ini? Bukankah itu manusia? Bagaimana kau menjelaskan ini, Jean?!”
Terdengar suara penuh kekesalan dari Kalt yang serangan vaticnya baru saja digagalkan oleh dua android ini.
“Bukan! Mereka bukan manusia. Kau salah!”
“Jangan bilang kalau mereka adalah android milikmu!”
Aku masih belum mengerti tentang ini semua, tapi untuk saat ini aku akan mengambil kesempatan ini.
“I-Iya! Benar milikku. Aku merahasiakannya darimu.”
Mendengar jawabanku, Kalt terlihat sangat kesal sampai terlihat urat di dahinya.
“BERANINYA KAU MEMBODOHIKU DASAR HALF ELF SIALANN!!”
Amarahnya meledak-ledak seakan ingin benar-benar membunuhku.
“EAST! HABISI DIA!!”
East melesat dengan cepat kearahku dan melancarkan serangan beruntun dengan kecepatan tinggi.
“Master, beri perintahmu.”
Kedua android tadi merespon pergerakan East dan menanyakan perintah dariku.
“... Lindungi kami!”
“Dimengerti!”
Kedua android tadi menepis semua serangan East dengan kecepatan yang sama atau mungkin lebih cepat dan kemudian tubuh East terpental kearah majikannya. Tubuh East sudah tercabik-cabik dan memercikkan api. Kalt sangat terkejut dan kehilangan keseimbangan tubuhnya. Ia jatuh terduduk gemetaran meliat vatic yang ia banggakan dihancurkan dalam sekejap. Pertarungan berakhir begitu saja. Dari gedung sekolah seorang guru meneriaki kami.
“Hei! Apa yang kalian lakukan?!”
Chi-chan segera menarik tanganku dan membawaku pergi dari sekolah. Sedangkan Kalt hanya meratapi vaticnya dengan tatapan kosong. Saat setelah aku memperhatikan Kalt, aku tidak melihat keberadaan dua android tadi di sekitar sekolah. Memang aku belum bisa mengerti ini semua. Yang ku mengerti hari itu pertamakalinya aku melihat Chi-chan membolos demi aku.
Di gedung sekolah lantai paling atas, diam diam sekelompok siswa dan siswi berjumlah empat orang memperhatikan pertarungan Jean dan Kalt.
“Hohou... Kalt bisa dikalahkan sampai seperti itu, hebat juga dia.”
“Apakah benar android itu?
“Ya, tidak salah lagi.”
“Jadi, itukah sang legenda ‘THE FIRST’ Android? Hmm... Menarik!”


Komentar

Postingan Populer